Ya, sebuah kalimat klasik yang menjadi makanan setiap kalangan ketika menemukan ketidaksamaan hawa dalam kehidupannya.
Terkadang, sulit untuk tidak memiliki opini yang menyinggung. Akan tetapi, bukanlah tidak mungkin untuk memiliki opini yang bukan hanya membuat orang lain mengetahui kita, tetapi juga bagaimana kita mengetahui orang lain.
Jujur, gue adalah orang yang dulunya selalu berprasangka. Berprasangka dalam kasus gue ini adalah gue selalu memikirkan hal terburuk yang akan terjadi atau dilakukan sebuah makhluk. Sampai gue sadar bahwa selain berprasangka adalah hal yang hanya membuang kalori, namun juga berefek negatif bagi si pelaku.
I used to think nobody will listen, except those who had 'known' me. Gue selalu tidak ingin berpendapat dan mengeluarkan suara akan suatu hal karena berbagai prasangka yang punya. Dan hal itu nggak membawa gue ke mana-mana.
Gue nggak bisa berpendapat bahwa gue adalah orang yang notabene berisik ataupun pendiam, namun ketika gue berada di tempat yang membuat gue merasa "Ya, ini tempat yang aman untuk bersuara" gue bisa berpendapat.
Seiring berjalannya waktu, gue sadar prasangka tidak membawa gue ke mana-mana. Keluar dari lingkaran merah pun menjadi salah satu yang masuk ke blue book gue. Secara bertahap, dialog antar dialog pun berhasil gue jalani dan hanya tersisa satu tembok terakhir yang tersisa. Ketika tulisan ini ditulis, tembok tersebut sudah runtuh.
Singkat cerita, gue berniat untuk keluar. Di lingkungan baru ini gue merasa jauh lebih bebas dibandingkan lingkungan-lingkungan sebelumnya. Izin pun haruslah gue buat, sebagaimana manusia beretika pada umumnya.
Gue belum sepenuhnya percaya dengan diri gue. Sangat jarang sepertinya bagi saya untuk percaya diri. Ketika ingin membuat izin, tembok prasangka terakhir masih menghalangi. Gue membeku. Gue pun diam selama tiga bulan.
Ketika yang lain memiliki kemampuan untuk berbicara, keinginan gue untuk melakukan hal yang sama bangkit. Gue dan dia merupakan manusia yang notabene memiliki morfologi yang sama, namun memiliki kesehatan psikis yang berbeda.
Suatu hal aneh terjadi setelah tiga bulan berlalu. Tepat sekitar tiga hari yang lalu, saya bertemu teman seperjuangan dan entah kenapa saya merasa saya tidak bisa lari dari masalah saya terus menerus. Tembok terakhir dari prasangka hanya menjadi penghambat bagi siapa pun yang berdiri di belakangnya. Dari situlah, tembok prasangka saya gugur. Dan ternyata, saya sadar bahwa prasangka hanyalah suatu bentuk kesadaran manusia yang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan lari bersama pikirannya. Prasangka tidak selalu benar dan gue sadari itu. Sekarang sudah H-19, nih. Udah dulu ya.
fml
Terkadang, sulit untuk tidak memiliki opini yang menyinggung. Akan tetapi, bukanlah tidak mungkin untuk memiliki opini yang bukan hanya membuat orang lain mengetahui kita, tetapi juga bagaimana kita mengetahui orang lain.
Jujur, gue adalah orang yang dulunya selalu berprasangka. Berprasangka dalam kasus gue ini adalah gue selalu memikirkan hal terburuk yang akan terjadi atau dilakukan sebuah makhluk. Sampai gue sadar bahwa selain berprasangka adalah hal yang hanya membuang kalori, namun juga berefek negatif bagi si pelaku.
I used to think nobody will listen, except those who had 'known' me. Gue selalu tidak ingin berpendapat dan mengeluarkan suara akan suatu hal karena berbagai prasangka yang punya. Dan hal itu nggak membawa gue ke mana-mana.
Gue nggak bisa berpendapat bahwa gue adalah orang yang notabene berisik ataupun pendiam, namun ketika gue berada di tempat yang membuat gue merasa "Ya, ini tempat yang aman untuk bersuara" gue bisa berpendapat.
Seiring berjalannya waktu, gue sadar prasangka tidak membawa gue ke mana-mana. Keluar dari lingkaran merah pun menjadi salah satu yang masuk ke blue book gue. Secara bertahap, dialog antar dialog pun berhasil gue jalani dan hanya tersisa satu tembok terakhir yang tersisa. Ketika tulisan ini ditulis, tembok tersebut sudah runtuh.
Singkat cerita, gue berniat untuk keluar. Di lingkungan baru ini gue merasa jauh lebih bebas dibandingkan lingkungan-lingkungan sebelumnya. Izin pun haruslah gue buat, sebagaimana manusia beretika pada umumnya.
Gue belum sepenuhnya percaya dengan diri gue. Sangat jarang sepertinya bagi saya untuk percaya diri. Ketika ingin membuat izin, tembok prasangka terakhir masih menghalangi. Gue membeku. Gue pun diam selama tiga bulan.
Ketika yang lain memiliki kemampuan untuk berbicara, keinginan gue untuk melakukan hal yang sama bangkit. Gue dan dia merupakan manusia yang notabene memiliki morfologi yang sama, namun memiliki kesehatan psikis yang berbeda.
Suatu hal aneh terjadi setelah tiga bulan berlalu. Tepat sekitar tiga hari yang lalu, saya bertemu teman seperjuangan dan entah kenapa saya merasa saya tidak bisa lari dari masalah saya terus menerus. Tembok terakhir dari prasangka hanya menjadi penghambat bagi siapa pun yang berdiri di belakangnya. Dari situlah, tembok prasangka saya gugur. Dan ternyata, saya sadar bahwa prasangka hanyalah suatu bentuk kesadaran manusia yang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan lari bersama pikirannya. Prasangka tidak selalu benar dan gue sadari itu. Sekarang sudah H-19, nih. Udah dulu ya.
fml